Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
 
 Kita telah mengetahui bersama mengenakan jilbab adalah suatu hal yang  wajib. Sebagaimana kewajibannya telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan  hadits sebagai pedoman hidup kita. Namun kenyataaan di tengah-tengah  kita, masih banyak yang belum sadar akan jilbab termasuk  pada bulan Ramadhan. Tulisan ini akan menjelaskan bagaimanakah status  puasa wanita yang tidak berjilbab. Semoga bermanfaat.
 
 ==> Kewajiban Mengenakan Jilbab
 
 Allah Ta’ala berfirman : “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,  anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin : “Hendaklah mereka  mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu  supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak  diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs.  Al-Ahzab : 59)
 
 Allah Ta’ala juga berfirman : “Katakanlah kepada  wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan  kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang  (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. An-Nuur : 31)
 
 Berdasarkan  tafsiran Ibnu 'Abbas, Ibnu 'Umar, 'Atho’ bin Abi Robbah dan Mahkul  Ad-Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak  tangan. (Lihat Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah, Amru Abdul Mun’im, hal. 14)
 
 Orang yang tidak menutupi auratnya artinya tidak mengenakan jilbab  diancam dalam hadits berikut ini. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallaahu  ‘alaihi wa sallama bersabda, “Ada dua golongan dari penduduk neraka yang  belum pernah aku lihat : [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti  ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi  telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang  miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium  baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”  (HR. Muslim no. 2128)
 
 Di antara makna wanita yang berpakaian tetapi telanjang dalam hadits ini adalah :
 (1) Wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja  menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang  berpakaian tetapi telanjang;
 (2) Wanita yang memakai pakaian tipis  sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun  sebenarnya telanjang. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17 : 190-191).
 
 Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa wajibnya wanita mengenakan jilbab  dan ancaman bagi yang membuka-buka auratnya. Aurat wanita adalah  seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Bahkan dapat  disimpulkan bahwa berpakaian tetapi telanjang alias tidak mengenakan  jilbab termasuk dosa besar. Karena dalam hadits mendapat ancaman yang  berat yaitu tidak akan mencium bau surga. Na’udzu billahi min dzalik.
 
 ==> Puasa Harus Meninggalkan Maksiat
 
 Setelah kita tahu bahwa tidak mengenakan jilbab adalah suatu dosa atau  suatu maksiat, bahkan mendapat ancaman yang berat, maka keadaan tidak  berjilbab tidak disangsikan lagi akan membahayakan keadaan orang yang  berpuasa. Kita tahu bersama bahwa maksiat akan mengurangi pahala orang  yang berpuasa, walaupun status puasanya sah. Yang bisa jadi didapat  adalah rasa lapar dan haus saja, pahala tidak diperoleh atau berkurang  karena maksiat. Bahkan Allah sendiri tidak peduli akan lapar dan haus  yang ia tahan. Kita dapat melihat dari dalil-dalil berikut :
 
  Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa  adalah dengan menahan diri dari perkataan sia-sia dan kata-kata kotor.  Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu,  katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”. (HR. Ibnu  Khuzaimah 3 : 242. Al-A’zhomi mengatakan bahwa sanad hadits tersebut  shahih)
 
 Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu berkata,  “Seandainya engkau berpuasa maka hendaknya pendengaran, penglihatan dan  lisanmu turut berpuasa, yaitu menahan diri dari dusta dan segala  perbuatan haram serta janganlah engkau menyakiti tetanggamu. Bersikap  tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari  puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.” (Latho’if Al Ma’arif, 277)
 
 Mala ‘Ali Al Qori rahimahullaahu berkata, “Ketika berpuasa begitu keras  larangan untuk bermaksiat. Orang yang berpuasa namun melakukan maksiat  sama halnya dengan orang yang berhaji lalu bermaksiat, yaitu pahala  pokoknya tidak batal, hanya kesempurnaan pahala yang tidak ia peroleh.  Orang yang berpuasa namun bermaksiat akan mendapatkan ganjaran puasa  sekaligus dosa karena maksiat yang ia lakukan.” (Mirqotul Mafatih Syarh  Misykatul Mashobih, 6 : 308).
 
 Al-Baydhowi rahimahullaahu  mengatakan, “Ibadah puasa bukanlah hanya menahan diri dari lapar dan  dahaga saja. Bahkan seseorang yang menjalankan puasa hendaklah mengekang  berbagai syahwat dan mengajak jiwa pada kebaikan. Jika tidak demikian,  sungguh Allah tidak akan melihat amalannya, dalam artian tidak akan  menerimanya.” (Fathul Bari, 4 : 117)
 
 Penjelasan di atas  menunjukkan sia-sianya puasa orang yang bermaksiat, termasuk dalam hal  ini adalah wanita yang tidak berjilbab ketika puasa. Oleh karenanya,  bulan puasa semestinya bisa dijadikan moment untuk memperbaiki diri.  Bulan Ramadhan ini seharusnya dimanfaatkan untuk menjadikan diri menjadi  lebih baik. Pelan-pelan di bulan ini bisa dilatih untuk berjilbab.  Ingatlah sebagaimana kata ulama salaf, “Tanda diterimanya suatu amalan  adalah kebaikan membuahkan kebaikan.”
 
 Oleh : Ust. Muhammad Abduh Tuasikal
 
 


0 komentar:
Posting Komentar